Sunday, January 3, 2010

Sidang APEC di Singapura


Pertemuan Informal Pemimpin Ke-17 Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dibuka di Singapura hari ini (14/11). Pemimpin 21 ekonomi kawasan Asia Pasifik akan membahas agenda-agenda mendesak seperti penanggulangan krisis keuangan internasional, pemulihan pertumbuhan ekonomi dunia, dan pengintensifan integrasi regional.

Sidang tahap pertama Pertemuan Informal Pemimpin Ke-17 APEC berlangsung di Istana Presiden Singapura sore tadi pukul 13:30. Dalam pertemuan tertutup selama dua jam lebih, para pemimpin anggota APEC melakukan diskusi mendalam mengenai masalah bagaimana mempererat komunikasi regional. Presiden Tiongkok Hu Jintao menyampaikan pidato arahan mengenai dukungan kepada sistem perdagangan multilateral. Sehubungan dengan itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Ma Chaoxu mengatakan:”Presiden Hu Jintao menekankan, di bawah latar belakang masyarakat internasional bersama-sama berupaya menanggulangi krisis keuangan internasional, menjaga kestabilan sistem perdagangan multilateral, mendorong percepatan proses perundingan putaran Doha agar mencapai sukses menguntungkan untuk meningkatkan taraf keterbukaan perdagangan internasional, menekan proteksionisme dan mendorong pemulihan ekonomi dunia. Hal ini teramat penting bagi semua anggota, khususnya para anggota berkembang untuk menanggulangi imbas krisis keuangan internasional dan sesuai dengan kepentingan bersama semua pihak.”

Hu Jintao dalam pidatonya khusus menyinggung bangkitnya proteksionisme dalam berbagai bentuk belakangan ini. Untuk menanggulangi lebih lanjut krisis keuangan internasional, mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dunia secara menyeluruh, tekad semua pihak dalam menentang proteksionisme tidak boleh goyah, tindakan tidak boleh kendur, perlu mewaspadai dan mengoreksi tindak proteksionis semu dalam berbagai bentuk, mengurangi dan menghilangkan pagar perdagangan, menyelesaikan friksi perdagangan dengan dialog dan musyawarah, untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemulihan ekonomi dunia secara menyeluruh dan perkembangannya dalam jangka panjang. Dikatakan oleh Ma Chaoxu:”Presiden Hu menunjukkan, Tiongkok adalah pendukung tegas liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi, senantiasa mencurahkan tenaga untuk membangun sistem perdagangan multilateral yang adil, rasional dan nondiskriminatif, dan selalu ambil bagian dalam perundingan putaran Doha dengan sikap konstruktif. Tiongkok bersedia berupaya bersama semua pihak, mendorong perundingan putran Doha selekasnya menyelesaikan masalah-masalah yang belum terselesaikan untuk mencapai hasil yang menyeluruh dan seimbang dalam rangka mencapai target putaran pembangunan.”

Tahun ini bertepatan dengan genap 20 tahun berdirinya APEC. Melalui perkembangan selama 20 tahun, APEC meski telah mengambil peran positif dalam ekonomi regional dan global, namun juga menghadapi banyak problem dan tantangan baru. Sehubungan dengan itu, Presiden Hu Jintao dalam pidatonya di depan sidang tahap pertama telah mengajukan usul tiga butir mengenai perkembangan APEC di masa depan. Dikatakannya, sebagai penggagas dan perintis liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi kawasan ini, APEC perlu menonjolkan ciri khasnya, dan terus mendorong maju proses liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi. Tiongkok setuju menjadikan realisasi target Bogor oleh para anggota maju sesuai rencana sebagai titik berat pekerjaan APEC untuk waktu dekat. Bersamaan dengan itu, APEC perlu meningkatkan investasi untuk mendorong kerjasama ekonomi dan teknologi mencapai hasil yang lebih besar, khususnya perlu benar-benar membantu para anggota berkembang melakukan pembangunan kemampuan, memperluas alih teknologi, dan meningkatkan taraf kerjasama ekonomi dan teknologi. Selain itu, APEC perlu melakukan reformasi dan inovasi, terus menerus memperkuat kedinamisan mekanismenya.

Presiden Hu Jintao mengumumkan pula bahwa pemerintah Tiongkok akan menyediakan dana 10 juta dolar Amerika untuk mendirikan Dana Kerjasama Tiongkok-APEC guna mendorong dan mendukung departemen dan perusahaan di Tiongkok ambil bagian dalam kerjasama ekonomi dan teknologi APEC

Seberapa besar pengaruh krisis global dalam perekonomian Indonesia

PENGARUH KRISIS MONETER AMERIKA SERIKAT

A. KRISIS MONETER DI AMERIKA SERIKAT

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita simak pendapat Fauzi Ichsan, Senior Vice President Standard Chartered Bank, yang menceritakan dengan cukup detail tentang krisis moneter yang pernah terjadi. “Lama saya mengira bahwa krisis ekonomi terparah yang pernah saya alami adalah krisis moneter (krismon) Asia pada tahun 1997/1999. Ternyata dampak krismon Asia kalah jauh dibandingkan dengan krisis finansial yang melanda dunia sekarang. Sewaktu krismon Asia, setidaknya ada ’surga aman’ atau ’safe heaven’ bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Investor bisa menjual saham dan surat utangnya di Indonesia, Thailand dan Korea (walau rugi) yang mengalami krisis, dan membeli saham di bursa New York dan London. Sekarang, negara safe heaven pun mengalami krisis ekonomi yang parah. Investor kesulitan mencari safe heaven untuk memarkir dananya dan, karena pasar saham, surat utang dan komoditas semuanya anjlok, cash is king again“.

Seberapa parah krisis finansial dunia ini?

Patokan ada. Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan teroris tahun 2001. Mereka selamat manghadapi resesi ekonomi dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia. Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang sering disebut “the great depression”, akibat krisis keuangan AS pada 1929.

Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan kita sebelumnya.

Dari uraian di atas, kita tahu bahwa krisis moneter di Amerika Serikat akhir-akhir ini telah mewabah ke berbagai benua dan dipastikan lebih parah dari krisis yang sudah pernah terjadi.

B. DAMPAK SECARA GLOBAL

Krisis moneter di Amerika Serikat kali ini menumbulkan dampak luar biasa secara global. Hal ini bisa dilihat dari kepanikan investor dunia dalam usaha mereka menyelamatkan uang mereka di pasar saham. Mereka ramai-ramai menjual saham sehingga bursa saham terjun bebas. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.

Di AS, setelah melihat bursa saham Wall Street terus melorot, akhirnya kongres menyetujui program penyelamatan sektor keuangan (troubled asset recovery program – TARP) senilai US$ 700 miliar yang diajukan oleh pemerintah. Namun, karena lamanya negosiasi politik antara pemerintah dan kongres, investor kecewa melihat politikus di Washington tidak memiliki sense of crisis.

Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global pada dasarnya hanya memengaruhi investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Inti cerita yang terjadi adalah sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia.

Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para pengusaha dunia yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Kita sudah tahu bahwa dolar AS merupakan mata uang inti dalam dunia usaha. Akibatnya, walaupun suku bunga bank sentral AS (atau Fed Funds Target Rate) sampai diturunkan ke 1,5%, suku bunga London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR), sebagai patokan suku bunga yang digunakan oleh pelaku ekonomi, melonjak tajam.

Masalah rumit yang terjadi sekarang, macetnya sistem pembayaran dan penyaluran kredit global sebagai ‘oksigen untuk napasnya dunia bisnis’. Suku bunga bank sentral bisa rendah, tetapi suku bunga kredit untuk pelaku bisnis, kalaupun bisa dapat pinjaman, sangat tinggi karena perbankan ketakutan meminjamkan dananya. Menurut para ahli ekonomi, sebenarnya hal itu merupakan bahaya sektor perbankan global. Jadi, bukan anjloknya pasar saham, yang sebetulnya bisa melumpuhkan pertumbuhan ekonomi dunia secara perlahan.

Akhirnya, bank sentral dunia mengerti betapa pentingnya melakukan kebijakan yang terkoordinasi. Tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada) akhirnya memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar. Terjadi di tahun 2008 ini.

Hal lain yang dilakukan adalah kebijakan terkoordinasi bank sentral dan pemerintah dunia selebihnya harus ditujukan untuk memenuhi tiga sasaran. Pertama, memulihkan kembali sistem perbankan dan pembayaran global yang lumpuh agar sirkulasi dana internasional bisa normal kembali – dan bank bisa memberi kredit lagi.

Kedua, mengeluarkan aset bermasalah (terutama surat utang KPR subprime) dari perbankan AS dan memperbesar modal perbankan agar lebih bisa memberi kredit dalam jumlah yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, bank sentral dunia harus berani terus menurunkan suku bunga (untuk membantu meringankan bunga kredit) dan, yang lebih penting, pemerintah harus memperbesar belanjanya untuk pembangunan infrastruktur dan memberi stimulus ekonomi – karena investor swasta enggan berinvestasi dalam krisis likuiditas.

Kebijakan di atas bisa berhasil, bisa juga gagal. Hal tersebut beralasan karena kebijakan ekonomi berskala global belum pernah dilakukan dalam sejarah, tetapi risiko terjadinya resesi ekonomi dunia yang parah akan lebih besar kalau bank sentral dan pemerintah dunia tidak melakukan apa-apa.

Kalau berhasil, kapan hasilnya akan kelihatan? Paling cepat dua tahun. Artinya, resesi ekonomi AS dan Eropa akan lebih parah (sementara pertumbuhan ekonomi dunia melambat) pada 2009, sebelum pulih pada 2010. Kenapa? Karena titik terburuk ekonomi AS dan Eropa belum tercapai: misalnya, turunnya harga properti AS (pemicu krisis subprime) belum berakhir (jumlah rumah yang belum terjual masih terlalu banyak), pabrik masih melakukan PHK masal dan masih banyak bank yang harus bangkrut.

Selain itu, dampak stimulus kebijakan moneter dan fiskal memang makan waktu lebih dari satu tahun. Kalau ekonomi dunia baru pulih 2010, kapan pasar saham global pulih? Paling cepat semester 1, 2009, karena pasar saham biasanya menguat 6-9 bulan sebelum sektor riil ekonomi pulih.

C. DAMPAK DI INDONESIA

Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurangi impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia.

Seperti pada tahun 2001/2002, atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga negara di Asia yang tidak terlalu terpukul ekonominya: China, India, dan Indonesia. Ketiga negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak resesi ekonomi AS.

Namun demikian, krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun, yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Dari sini kita tahu bahwa dampak krisis moneter di Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia tidak hanya pada melemahnya nilai tukar Rupiah, namun juga pada berbagai sector lain yang lebih rumit. Berikut akan dijelaskan dengan singkat.

Rupiah Melemah

Akibat krisis moneter di Amerika Serikat, nilai tukar rupiah melemah dan sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus Rp 10.000 per USD. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih sejalan dengan beberapa mata uang lainnya.

Berbeda dengan krisis 1997, BI kini juga telah mengetahui pencatatan valas perbankan. BI juga tetap waspada dan terus menjaga agar tidak terjadi pergerakan gejolak yang terlalu besar. BI sebagai bank sentral meminta pasar tidak panik menghadapi situasi saat ini.

Turbulensi di pasar finansial saat ini terjadi di seluruh dunia. Bank sentral akan terus memantau perkembangan ekonomi global, dan berusaha agar dampaknya bisa seminimal mungkin.

Jatuhnya Bursa Saham

Dampak lain yang terjadi akibat krisis moneter di Amerika Serikat adalah jatuhnya bursa saham yang terjadi dalam pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli ekonomi menilai kecil kemungkinan krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi berupa ambruknya perbankan dan sektor riil. Namun untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar, pemerintah sebaiknya fokus menjaga daya beli masyarakat.

Pada hari Jumat tanggal 10 Oktober 2008, pemerintah membatalkan rencana pembukaan kembali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang ditutup pada hari Rabu, 8 Oktober 2008. Hal ini dilakukan karena otoritas bursa ingin melindungi emiten. Emiten perlu dilindungi dari kemungkinan keterpurukan nilai harga saham akibat sentimen negatif pasar terhadap kondisi keuangan global yang sedang krisis.

Para ahli menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara maju lainnya. Di AS, krisis telah merasuk ke semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga sektor riil.

Namun, di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan pendapatnya di sebuah surat kabar bahwa sebenarnya ekonomi tidak terlalu terpengaruh dengan ambruknya bursa dunia, seperti Wall Street. ”Perbedaannya, kita banyak menggantungkan pada ekonomi domestik. Seperti di AS, pengaruh bursa itu sampai 1,5 kali dari produk domestik bruto mereka. Kalau kita pengaruhnya hanya 20 persen. Jadi, jangan terlalu dirisaukan,” kata Wakil Presiden dalam sebuah wawancara di media massa.

Penyesuaian yang terjadi di pasar modal dan nilai tukar domestik merupakan hal wajar karena seluruh dunia terkena imbas krisis keuangan AS. Penurunan ekonomi AS dan Eropa dinilai tidak perlu dikhawatirkan mengingat peran mereka dalam perdagangan dunia makin menyusut. Sebagai gantinya, kini muncul kekuatan ekonomi baru, seperti China, India, dan Rusia.

Krisis keuangan global yang terjadi saat ini merupakan koreksi atas kesenjangan (gap) yang terjadi antara pertumbuhan sektor riil dan sektor finansial. Koreksi berupa penurunan harga-harga di sektor finansial dan kenaikan harga-harga di sektor riil, seperti harga komoditas.

Hal tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun krisis moneter di Amerika Serikat telah memicu krisis ekonomi global, dan di Indonesia juga terkena dampaknya dengan melemahnya nilai Rupiah dan jatuhnya pasar saham, kita tidak perlu khawatir karena krisis tersebut tidak akan melumpuhkan perekonomian Indonesia seperti yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu.

kdfd