Saturday, January 8, 2011

Kebijakan moneter

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. [1]

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.


Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : [2]

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)


Kebijakan moneter
dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : [3]

1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.


Bank Indonesia
memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. [4]

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.


Kebijakan Moneter

Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pendapat Kebijakan Moneter

Pendapat Kebijakan Moneter

· suatu kebijakan uang ketat untuk memperlambat inflasi. Sebagai hasilnya, tingkat suku bunga mencapai tingkat tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

· Di sebagian besar negara dunia, merupakan hal yang umum diterima bahwa kebijakan moneter adalah cukup untuk mengendalikan inflasi, tetapi tidak cukup untuk stimulasi ekonomi. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat yang tepat untuk mengendalikan kegiatan ekonomi.

· suatu kebijakan uang mudah meningkatkan saldo uang individu sehingga mendorong mereka untuk membelanjakan lebih karena para individu mempertahankan suatu hubungan yang stabil antara keinginan saldo uang mereka dan pengeluaran. Kebijakan uang ketat mengurangi saldo uang dan membatasi pembelanjaan secara langsung. Dalam pandangan monetaris tidak terdapat kebutuhan untuk hubungan investasi dari tinjauan Keynesian yang dipaparkan sebelumnya.

Friday, January 7, 2011

Implementasi Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Islam

1. KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonmian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar, dalam analisis ekonomi makro, memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga-harga. Uang yang beredar terlalu tinggi tanpa disertai kegiatan produksi yang seimbang, akan ditandai dengan meningkatnya harga-harga pada seluruh barang dalam perekonomian atau dikenal dengan istilah inflasi.

Kebijakan moneter dalam perekonomian modern dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu opersi pasar terbuka (open market operation), penentuan tingkat bunga, ataupun penentuan besarnyacadangan wajib dalam sektor perbankan. Ada instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah selaku pengelola moneter, yaitu himbauan moral atau moral persuasion.

Sektor yang paling berperan dalam kebijakan moneter adalah sektor perbankan. Melalui pengaturan sektor perbankan itulah, pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan moneternya dengan menggunakan instrumen atau alat-alat yang telah dijelaskan di atas.

Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah mengajarkan banyak hal kepada kita. Perekonomian Indonesia yang ikut terseret dalam pusaran krisis yang berkepanjangan, ditengarai oleh kebijakan moneter yang tidak efektif. Bahkan keterlibatan IMF dan Bank Dunia membantu pemerintah Indonesia dalam penanganan krisis secara moneter justru membuat keadaan semakin parah. Itulah antara lain yang membuat efektivitas kebijakan moneter dalam mengelola perekonomian banyak diperdebatkan para ahli. Salah satu penyebab ketidakefektifan itu adalah digunakannya suku bunga perbankan sebagai salah satu kebijakan moneter.[1]

a) Paradoks Manajemen Moneter Berbasis Bunga

Kebijakan moneter berbasis bunga selalu menghasilkan konflik dengan sektor riil akibat dampak dari inflatoir[2]-nya melalui ekspansi jumlah uang beredar. Ketika otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi dan secara simultan mengoptimalkan operasi pasar terbuka, maka ekses likuiditas diserap,keinginan meminjam menurun, sehingga menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa. Dengan demikian, suku bunga yang lebih tinggi akan membuat jumlah uang beredar mengalami kontraksi sehingga menurunkan tekanan terhadap kenaikan harga.

Namun rasionalitas ini tidak shahih secara empiris. Pertama, tingkat aktual suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk menciptakan uang secara signifikan. Perbankan konvensional hidup dari interest spread, mendapatkan pendapatan bung yang lebih tinggi dari kewajiban bunga pihak ketiga yang mereka himpun. Maka, di tingkat suku bunga berapapun, perbankan akan berusaha meningkatkan laba dengan cara meminjamkan uang lebih banyak baik ke sektor riil maupun sektor finansial, atau meningkatkan size of the spread.

Kedua, perilaku konsumen tidak selalu sensitif terhadap suku bunga. Ketika konsumen benar-benar membutuhkan suatu barang, mereka tetap akan meminjam untuk membeli barang tersebut meskipun dengan suku bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian, sebagai kombinasi dari faktor pertama dan kedua, kenaikan suku bunga hanya akan mendorong jumlah uang beredar dan tingkat utang dalam perekonomian akan meningkat.[3]

b) Menuju Manajemen Moneter Bebas Bunga

Dalam manajemen moneter Islam, tujuan kebijakan moneter ditujukan untuk mengelola sumberdaya finansial agar sejalan dengan maqashid syariah yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali yang berfokus pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan persfektif ini, maka Islam mendorong manajemen moneter bebas bunga yang secara langsung menghubungkan return sumber daya finansial dengan hasil dari proyek di sektor riil.

Selain meminimalkan potensi decoupling, mengaitkan sektor moneter dengan sektor riil secara langsung juga akan meminimalkan potensi permintaan uang untuk kegiatan yang mubazir, tidak produktif dan sia-sia, baik di sektor publik maupun privat. Dalam jangka panjang, secara substansi akan meningkatkan tingkat tabungan dan investasi, menurunkan defisit anggaran dan ketidakseimbangan makro ekonomi serta mendorong pemerataan pendapatan.

Pada saat yang sama pengenaan zakat terhadap sumber daya finansial yang menganggur, secara efektif mamaksa pemiliknya untuk mencari peluang-peluang investasi yang prospektif di sektor riil agar terhidar dari penurunan tingkat kesejahteraan. Dalam sistem di mana bunga dilarang dan zakat diterapkan, ide-ide bisnis segar akan berkembang dan menjadi gelombang inovasi (creative destruction) yang mendorong dinamika perekonomian riil.

Setelah menstabilkan permintaan uang dan membuatnya sejalan dengan maqashid, maka tujuan kebijakan moneter berikutnya adalah mengestimasi permintaan uang dan menetapkan target pertumbuhan uang yang beredar sesuai. Pesan terpenting adalah pertumbuhan uang yang beredar sesuai dengan pertumbuhan sektor riil yang sejalan dengan maqashid syari’ah.[4]

c) Aplikasi Instrumen Moneter Islam di Indonesia

Peraturan perbankan syariah ayng dikeluarkan pada 1998, yang menggantikan peraturan perbankan syariah tahun 1992, memungkinkan perkembangan syariah dengan cepat. Apalagi pada tahun 2008 telah disahkan undang-undang baru bank syariah (UUPS) yang menggantikan UUPS tahun-tahun sebelumnya. Terjadi peningkatan jumlah cabang bank syariah , baik dari bank umum yang berdasarkan syariah maupun divisi syariah bank umum konvensional. Meningkatnya kemampuan menyerap dana masyarakat terlihat dari dana simpanan yang tercantum di neraca bank-bank syariah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bank Indonesia, sebagi bank sentral dan bank yang memiliki otoritas moneter, lebih menaruh perhatian dan lebih berhati-hati dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap bank-bank umum, tanpa mengganggu momentum pertumbuhan bank-bank syariah tersebut.

Terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah Islam, BI menjalankan fungsinya bank sentral dengan instrumen-instrumen sebagai berikut.

  1. Giro Wajib Minimum (GWM): biasa dinamakan juga statutory reserve requirement, adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan Persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan (Prudential Banking) serta berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.

besaran GWM adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Giro Wadiah;
  2. Tabungan Mudharabah;
  3. Deposito Investasi Mudharabah; dan
  4. Kewajiban lainnya.

Dana Pihak Ketiga dalam IDR tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan BPR. Sedangkan Dana Pihak Ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban kepada pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri atas :

  1. Giro Wadiah;
  2. Deposito Investasi Mudharabah; dan
  3. Kewajiban lainnya.

BI mengenakan denda terhadap kesalahan dan keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GWM. Bank yang melakukan pelanggaran juga terkena sanksi.

  1. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah (Sertifikat IMA): yaitu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak digunakan sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami kekurangan dana.

Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh BI. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankannya kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran dilakukan oleh bank syariah penerbit sebesar nilai nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer elektronik).

  1. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI): yaitu instrumen Bank Indonesia sesuai dengan syariah Islam. SWBI juga dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan liquiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.

Dalam operasionalnya, SWBI mempunyai nilai nominal minimum Rp 500 juta dengan jangka waktu dinyatakan dalam hari (misalnya: 7 hari, 14 hari, 30 hari).pembayaran atau pelunasan SWBI dilakukan melalui debet/kredit rekening giro di Bank Indonesia. Jika jatuh tempo, dana akan dikembalikan bersama bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat IMA.[5]

2. KEBIJAKAN FISKAL

Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat di artikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam system pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government expenditure). Dalam negara Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu pernagkat untuk mencapai tujuan syariah (maqoshidus syari’ah) yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan.

Laranagan bunga yang diberlakukan pada tahun hijriah keempat telah mengakibatkan sistem ekonomi Islam yang diberlakukan oleh nabi terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, negara Islam yang dibangun oleh nabi tidak mewarisi harta sebagai mana layaknya pendirian suatu negara. Oleh karena itu, kita akan mampu melihat bagaimana kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara islam ersebut.

A. Kebijakan Pendapatan dalam Ekonomi Islam

Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fa’I, jizyah, kharaj, shadaqoh, dan lain-lain. Jika diklasifikasikan pendapatan maka tersebut ada yang bersifat ruti seperti : zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak, dan shadaqoh serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti : ghanimah, fa’I, dan harta yang tidak ada pewarisnya.

Secara umum ada kaidah-kaidah syari’ah yang mebatasi kebijakn tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).

  1. 1. Kaidah Syari’ah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Pajak

Ajaran islam dengan rinci telah menentukan, syarat kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tariff yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang dengan nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan Para Sahabat telah memberi contoh mengenai fleksibelitas. Nabi pernah menangguhkan zakat pamannya Abbas karena krisis yang dihadapinya, sementara Sayyidina Umar menagguhkan zakat mesir karena paceklik yang melanda mesir pada tahun tersebut. Selai fleksibelitas di atas kaidah lainnya fleksibelitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai.

  1. 2. Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan yang Berasal dari Aset Pemerintah

Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari asset pemerintah dapat dibagi dalam dua kategori : (a) pendapatan dari asset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi asset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. Ketika asset tersebut dikelola individu masyarakat maka pemerintah berhak menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil yang dihasilkan oleh asset tersebut dengan berpedoman dengan kaidah umum yaitu maslahah dan keadilan; (b) pendapatan dari asset yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasrkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam, dan yang semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah modern adalah sarana-sarana umum yang angat dibutuhkan mayarakat.

  1. 3. Kaidah Syari’ah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak

Prisip ajaran Islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secar paksa (Undang-undang dalam ekonomi modern). Sesuli apapun kehidupan Rasulullah SAW. Di madinah beliau tidak pernah menentukan kebijakan pemungutan pajak. Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satu-satunya sektor pendapatan terpenting terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan kepada publics goods dan mempunyai tujuan sebagai alat redistribusi, penstabilan dan pendorongan pertumbuhan ekonomi. Seandainya pungutuan pajak tersebut diperbolehkan dalam Islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu punutan tersebut hanya bagi orang yang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul-betul sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pendapatan lainnya.

B. Kebijakan Belanja dalam Ekonomi Islam

Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh landasan-landasan syar’iyah dan penentuan skala perioritas. Para ulama terdahulu telah memberika kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadis dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antar kaidah (Chapra : 1995,288-289) tersebut adalah :

    1. Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
    2. Menghindari masyqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
    3. Mudharat individu dapat dijadikan alas an demi menghindari mudharat dalam skala umum.
    4. Pengorbanan individu dapat dilakuakn dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
    5. Kaidah al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapat manfaat harus siap menanggung beban (yang untung harus siap menanggung kerugian).
    6. Kaidah Ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapt dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektifitas dan efesiensi pembelanjaan pemerintah dalam islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan dalam pemerintah Islam :

a) Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.

b) Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.

c) Pengeluaran yang mengarah kepada semakin bertambahnya permintaan efektif.

d) Pengeluaran yang berkaitan denganinvestasi dan produksi.

e) Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.


referensi: www.google.com

Definisi Kebijakan Moneter

Definisi Kebijakan Moneter
Menurut Nopirin : kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat (Nopirin, 1992:45). Bank sentral adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar.

Menurut Iswardono : kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997 : 126).
c. Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Instrumen Kebijakan Moneter
Alat / instrumen kebijakan moneter yang umum dijelaskan oleh Nopirin (1992 : 46) dan Mishkin (2001 : 435) sebagai berikut :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Instrumen ini merupakan alat kebijakan moneter yang terpenting karena
merupakan determinan utama antara perubahan tingkat suku bunga dan monetary base serta menjadi sumber utama untuk mempengaruhi fluktuasi jumlah uang beredar. Kebijakan ini meliputi tindakan menjual dan membeli surat-surat berharga oleh bank sentral. Tindakan ini memiliki 2 pengaruh utama terhadap kondisi pasar uang : pertama, menaikkan cadangan bank-bank umum yang turut dalam transaksi. Hal ini dikarenakan dalam pembelian surat berharga misalnya, bank sentral akan menambah cadangan bank umum yang menjual surat berharga tersebut, akibatnya bank umum dapat menambah jumlah uang yang beredar (melalui proses penciptaan kredit). Pada saat bank sentral menjual surat-surat berharga di pasar terbuka, cadangan bank-bank umum akan menurun. Berikutnya bank-bank ini dipaksa untuk mengurangi penyaluran kreditnya, dengan demikian akan mengurangi jumlah uang beredar. Pengaruh yang kedua, tindakan pembelian atau penjualan surat berharga akan mempengaruhi harga (dan dengan demikian juga tingkat bunga) surat berharga, sehingga mengakibatkan menurunnya jumlah uang beredar dan meningkatkan tingkat suku bunga.

Berdasarkan tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
• Dynamic open market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan monetary base.
• Defensif open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan
monetary base.

2. Penetapan Tingkat Diskonto (Discount Policy)
Kebijakan ini meliputi tindakan untuk mengubah tingkat bunga yang harus dibayar oleh bank umum dalam hal meminjam dana dari bank sentral. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk mempengaruhi tingkat diskonto yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap jumlah uang beredar melalui perubahan tingkat bunga pinjaman. Dengan menaikkan diskonto, maka biaya untuk meminjam dana dari bank sentral akan naik sehingga akan mengurangi keinginan bank umum untuk melakukan peminjaman ke bank sentral.
Akibatnya, jumlah uang yang beredar dapat ditekan / dikurangi. Di samping itu, posisi jumlah cadangan juga dapat dipengaruhi melalui instrumen ini. Apabila tingkat diskonto mengalami kenaikan, maka akan meningkatkan biaya pinjaman pada bank. Peningkatan jumlah cadangan ini merupakan indikasi bahwa bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang ketat.

3. Penetapan Cadangan Wajib Minimum (Reserves Requirements)
Kebijakan perubahan cadangan minimum dapat mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Apabila cadangan wajib minimum diturunkan, maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah deposito sehingga jumlah uang beredar cenderung meningkat, dan sebaliknya apabila cadangan wajib minimum dinaikkan, maka akan mengurangi jumlah deposito yang akhirnya akan menurunkan jumlah uang yang beredar.
Indikator empirik untuk kebijakan moneter yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Jumlah uang beredar (M2), yaitu jumlah seluruh uang yang beredar yang terdiri dari M1(uang kartal dan uang giral) ditambah dengan uang kuasi.
b. Bunga deposito 1 bulan (Depo1)
c. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
d. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
e. Inflasi

Labels: Manajemen Keuangan

Pengertian dan Tujuan Kebijakan Moneter

Pengertian dan Tujuan Kebijakan Moneter

Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah yang beredar dan kredit yang pada akhirnya akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukurdengan
a. Kesempatan Kerja
Semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.
b. Kestabilan harga
Apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan.
c. Neraca Pembayaran Internasional
Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.

Lebih lanjut tentang: Pengertian dan Tujuan Kebijakan Moneter


oleh: AdhyzalKandarY Pengarang : Ekonomi